Pair of Vintage Old School Fru


HiDUP DALAM PELUKAN CINTA

Seorang teman dengan
potensi tinggi, mengeluh
berat setelah pindah-pindah
kerja di lebih dari lima
tempat.
Tadinya, saya fikir ia mencari
penghasilan yang lebih tinggi.
Setelah mendengarkan
dengan penuh empati, rekan
ini rupanya mengalami
kesulitan dengan lingkungan
kerja.
Di semua tempat kerja
sebelumnya, dia selalu
bertemu dengan orang yang
tidak cocok. Di sini tidak
cocok dengan atasan, disitu
bentrok dengan rekan
sejawat, di tempat lain malah
diprotes bawahan.
Kalau rekan di atas berhobi
pindah-pindah kerja, seorang
sahabat saya yang lain punya
pengalaman yang lain lagi.
Setelah berganti istri
sejumlah
tiga kali, dengan berbagai
alasan yang berbau tidak
cocok, ia kemudian merasa
capek dengan kegiatan
berganti-ganti pasangan ini.
Seorang pengusaha berhasil
punya pengalaman lain lagi.
Setiap kali menerima orang
baru sebagai pimpinan
puncak, ia senantiasa
semangat dan penuh optimis.
Seolah-olah orang baru yang
datang pasti bisa
menyelesaikan semua
masalah. Akan tetapi, begitu
orang baru ini berumur kerja
lebih dari satu tahun, maka
mulailah kelihatan busuk-
busuknya.
Dan ia pun mulai capek
dengan kegiatan berganti-
ganti pimpinan puncak ini.
Digabung menjadi satu,
seluruh cerita ini
menunjukkan bahwa kalau
motif kita mencari pasangan -
entah pasangan hidup
maupun pasangan kerja -
adalah mencari orang yang
cocok di semua bidang,
sebaiknya dilupakan saja.
Bercermin dari semua inilah,
maka sering kali saya
ungkapkan bahwa fundamen
paling dasar dari manajemen
sumber daya manusia adalah
manajemen perbedaan.
Yang mencakup dua hal
mendasar: menerima
perbedaan dan
mentransformasikan
perbedaan sebagai kekayaan.
Sayangnya, kendati idenya
sederhana, namun
implementasinya memerlukan
upaya yang tidak kecil. Ini
bisa terjadi, karena tidak
sedikit dari kita yang
menganggap diri seperti
burung yang bersayap
lengkap.
Bisa terbang (baca:hidup dan
bekerja) sendiri tanpa
ketergantungan pada orang
lain.
Padahal, meminjam apa yang
pernah ditulis Luciano de
Crescendo, kita semua
sebenarnya lebih mirip
dengan burung yang bersayap
sebelah. Dan hanya bisa
terbang kalau mau
berpelukan erat-erat
bersama orang lain.
Di perusahaan, hampir tidak
pernah saya bertemu
pemimpin berhasil tanpa
kemampuan bekerja sama
dengan orang lain.
Di keluarga, tidak pernah
saya temukan keluarga
bahagia tanpa kesediaan
sengaja untuk 'berpelukan'
dengan anggota keluarga
yang lain.
Di tingkat pemimpin negara,
orang sehebat Nelson
Mandela dan Kim Dae Jung
bahkan mau berpelukan
bersama orang yang dulu
pernah menyiksanya.
Lebih-lebih kalau kegiatan
berpelukan ini dilakukan
dengan penuh cinta. Ia tidak
saja merubah sesuatu yang
tidak mungkin menjadi
mungkin,
mentransformasikan
kegagalan menjadi
keberhasilan, namun juga
membuat semuanya tampak
indah dan menyenangkan.
Tuhan memang tidak pernah
melahirkan manusia yang
sempurna. Kita selalu lebih di
sini dan kurang di situ.
Atau sebaliknya.
Kesombongan atau keyakinan
berlebihan yang menganggap
kita bisa sukses sendiri tanpa
bantuan orang lain, hanya
akan membuat kita bernasib
sama dengan burung yang
bersayap sebelah, namun
memaksa diri untuk terbang.
Sepintar dan sehebat apapun
kita, tetap kita hanya akan
memiliki sebelah sayap.
Mau belajar, berjuang,
berdoa, bermeditasi atau
sebesar dan sehebat apapun
usaha kita, semuanya akan
diakhiri dengan jumlah sayap
yang hanya sebelah.
Oleh karena alasan inilah,
saya selalu ingat pesan
seorang rekan untuk memulai
kehidupan setiap hari dengan
pelukan. Entah itu memeluk
anak, memeluk istri,
memeluk kehidupan,
memeluk alam semesta,
memeluk Tuhan atau di
kantor memulai kerja dengan
'memeluk' orang lain.

On : 1| Total : 472
MobPartner Counter
Up↑